Polemik Kereta Cepat Whoosh: Pemerintah Tolak Gunakan APBN

Polemik Kereta Cepat Whoosh: Pemerintah Tolak Gunakan APBN
informasi-publik.com,

Jakarta – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang dikenal dengan nama “Whoosh” kembali menjadi sorotan, kali ini akibat polemik pembayaran utang yang membengkak. Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan penolakannya untuk menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam membayar utang proyek tersebut. Sebaliknya, pemerintah mendorong Danantara, dana kekayaan negara (sovereign wealth fund), untuk memikul tanggung jawab tersebut.

Penolakan ini disampaikan Purbaya menanggapi desakan berbagai pihak agar pemerintah turun tangan menyelamatkan proyek yang didanai China ini. Sementara di sisi lain, Beijing telah memberi sinyal keterbukaan untuk membicarakan restrukturisasi utang guna memastikan kelangsungan operasional kereta api.

“Whoosh sudah dikelola oleh Danantara. Danantara sudah mengambil alih dividen BUMN sebesar 80 triliun rupiah. Mereka seharusnya mengelolanya dari sana,” tegas Purbaya kepada para wartawan pada 13 Oktober 2025 lalu.

Menkeu menilai penggunaan APBN untuk membayar utang Whoosh adalah hal yang tidak masuk akal. “Menggunakan APBN untuk membayar utang Whoosh agak menggelikan. Semua laba BUMN masuk ke Danantara, tetapi bebannya datang ke kami. Jika Danantara mengambil dividen dari BUMN, mereka harus mengambil semuanya, termasuk beban utang,” tambahnya. Purbaya mengungkapkan, cicilan utang Whoosh yang harus dibayar Indonesia setiap tahun mencapai dua triliun rupiah.

Evaluasi Opsi dan Dukungan China

Menanggapi hal ini, Chief Executive Officer Danantara, Rosan Roeslani, menyatakan bahwa pihaknya sedang “mengevaluasi secara menyeluruh” semua opsi untuk menyelesaikan masalah utang Whoosh. Donny Oskaria, Chief Operating Officer Danantara, sebelumnya mengungkapkan dua opsi yang sedang dipertimbangkan: meningkatkan ekuitas konsorsium Indonesia di Whoosh dan nasionalisasi kepemilikan kereta api dengan model aset negara, mirip dengan model kepemilikan kereta api di negara lain.

Dari pihak China, Jurubicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, pada Senin (20/10) menyatakan bahwa China “siap membantu” Indonesia memastikan “operasi berkualitas tinggi” dari Whoosh. Guo menekankan bahwa penilaian terhadap proyek kereta cepat tidak hanya harus melihat angka keuangan, tetapi juga manfaat publik dan dampak komprehensifnya, seperti menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi di sepanjang jalur.

Warisan Proyek dan Pembelaan

Polemik utang ini memicu sejumlah pejabat tinggi di era pemerintahan Presiden sebelumnya, Joko Widodo, untuk membela proyek senilai US$7,27 miliar yang diluncurkan pada masa jabatannya itu. Salah satunya adalah Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi kala itu.

“Dari awal pengerjaan, saya menemukan proyek [kereta cepat] ini sudah bermasalah. Sekarang kita berusaha memperbaiki keuangannya. Kami melakukan audit bersama BPKP, lalu kami negosiasi [restrukturisasi utang] dengan China,” ujar Luhut pada 16 Oktober.

Luhut juga membantah tudingan bahwa Indonesia terjebak dalam jebakan utang China (debt trap) dengan membangun Whoosh, yang ia pandang sebagai infrastruktur penting untuk memajukan jaringan transportasi publik Indonesia.

Dividen Analis: Siapa yang Seharusnya Membayar?

Di kalangan analis, pendapat tentang siapa yang seharusnya menanggung beban utang ini terbelah.

Eddy Junarsin, pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, sepakat bahwa Danantara yang seharusnya memikul beban utang Whoosh. Hal ini sejalan dengan tanggung jawab utama Danantara dalam mengambil keputusan terkait investasi, pendanaan, dan dividen BUMN, yang secara natural mencakup pembayaran utang.

Sebaliknya, Andry Satrio Nugroho, peneliti perdagangan dan investasi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), berpendapat bahwa utang Whoosh harus dibayar menggunakan APBN. Ia beralasan, secara historis sulit membangun kereta cepat dengan skema business-to-business, dan alokasi dana negara diperlukan. Jika Danantara yang membayar, hal ini akan menjadi disinsentif bagi BUMN lainnya.

Anthony Budiawan dari Political Economy and Policy Studies mengingatkan, pemerintah harus mendapatkan persetujuan DPR jika hendak menggunakan APBN untuk membayar utang tersebut.

Profil Pembiayaan dan Kinerja Whoosh

Whoosh dioperasikan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), sebuah joint venture antara konsorsium BUMN Indonesia (Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) yang memegang 60% saham, dan konsorsium China yang memegang 40%.

Tiga perempat dari anggaran awal proyek senilai US$6,02 miliar dibiayai oleh pinjaman dari China Development Bank dengan suku bunga 2% per tahun. Bank yang sama juga memberikan pinjaman untuk tambahan biaya proyek (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar dengan bunga 3,4%.

Di sisi kinerja, PSBI mencatat kerugian sebesar Rp 4,19 triliun pada tahun lalu, dan kerugian Rp 1,625 triliun dalam enam bulan pertama tahun ini. Kerugian ini terutama disebabkan oleh penjualan tiket yang jauh di bawah target. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan Whoosh hanya menjual 6,06 juta tiket pada tahun lalu, sangat jauh dari target pemerintah yang sebesar 31 juta tiket per tahun.

Sebagai jalan keluar, Andry dari Indef berargumen bahwa Whoosh akan lebih menguntungkan jika jalurnya diperpanjang hingga menghubungkan Jakarta dengan Surabaya, kota bisnis besar di Jawa Timur. Ekspansi ini diyakini akan meningkatkan nilai ekonomis dan jumlah penumpang secara signifikan.

*) Oleh : slm

Apa pendapatmu? Tulis di kolom komentar dengan sopan dan beretika. Jangan lupa bagikan agar semakin banyak yang tahu!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *