Bangkalan – Sengketa tanah warisan di Desa Karangnangkah, Kecamatan Blega, Kabupaten Bangkalan, kembali memasuki babak baru. Kali ini, kasus tersebut berlanjut ke Pengadilan Negeri Bangkalan, dengan penggugat Achmad, ahli waris dari almarhum Djali alias P. Matrodji, menggugat dua institusi besar: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bangkalan.
Tanah Warisan yang Dikuasai Tanpa Kompensasi
Luas tanah yang disengketakan mencapai 1.600 meter persegi. Tanah tersebut telah digunakan sejak 1989 sebagai lokasi pembangunan rumah pompa air untuk distribusi publik, namun menurut penggugat, tidak ada pelepasan hak secara sah oleh ahli waris.
Gugatan Baru, Langkah Lebih Terarah
Sebelumnya, gugatan yang dilayangkan ke PN Bangkalan pada 2024 (Perkara Nomor 18/Pdt.G/2024/PN Bkl) ditolak karena dianggap tidak tepat menggugat pemerintah desa, mengingat objek sengketa telah digunakan dalam proyek nasional.
Mengambil pelajaran dari perkara tersebut, kini gugatan dialamatkan langsung kepada pihak yang disebut sebagai pengguna dan penguasa tanah, yakni:
- Kementerian PUPR, atas proyek air tanah (P2AT) tahun 1989.
- PDAM Bangkalan, yang hingga kini menggunakan rumah pompa di atas lahan itu sebagai infrastruktur pelayanan air bersih.
Klaim Hak Waris dan Ketimpangan Administrasi
Achmad, selaku penggugat, menyebut bahwa tanah warisan milik almarhum Djali telah digunakan tanpa dasar hukum sah. Ia juga mengklaim bahwa hanya sebagian kecil tanah (sekitar 225 meter persegi) yang secara formal pernah disebut dilepaskan kepada negara, itupun dilakukan oleh pihak yang bukan ahli waris.
“Surat pelepasan hak dilakukan tahun 1989, padahal Djali wafat tahun 1984. Jadi, siapa yang berhak melepas? Kami tidak pernah menyetujui atau menerima kompensasi apa pun,” tegas Achmad.
Fakta mengejutkan lainnya, lanjutnya, adalah pengurangan luas tanah yang drastis. Pada dokumen awal, luas lahan mencapai 1.600 meter persegi, namun pada tahun 2023, hanya tersisa 1.010 meter persegi yang masih diakui. Selisihnya kini telah berdiri fasilitas publik milik pemerintah.
Permintaan Pengosongan dan Pengembalian Hak
Dalam gugatan tersebut, Achmad melalui kuasa hukumnya, Sujarwanto, S.H., dari LBPH Kosgoro Jombang, meminta agar:
- Hak atas tanah sisa yang tidak pernah dilepaskan diakui secara sah.
- Fasilitas pemerintah di atas tanah tersebut dikosongkan atau dikompensasi.
- Aset yang telah tercatat sebagai milik negara namun dibangun di atas tanah yang disengketakan dicabut dari daftar aset negara.
Bukan Anti-Pembangunan, Tapi Pro-Hukum
Sujarwanto menegaskan bahwa gugatan ini bukanlah bentuk perlawanan terhadap pembangunan. Ia menyatakan bahwa negara memang harus membangun, namun tidak dengan cara merampas hak milik rakyat tanpa prosedur hukum.
“Kalau pada masa lalu prosedurnya lemah, hari ini harus dibenahi. Ini soal keadilan agraria, bukan soal menolak pembangunan,” ujarnya.
Sidang dan Mediasi di Pengadilan Negeri Bangkalan
Sidang kedua atas gugatan ini telah digelar pada Senin, 10 Juni 2025, di Pengadilan Negeri Bangkalan. Pihak penggugat, PUPR, dan PDAM hadir melalui kuasa hukumnya masing-masing.
Majelis hakim menyarankan para pihak untuk terlebih dahulu menempuh jalur mediasi, sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Jika mediasi gagal, maka persidangan akan dilanjutkan pada tahap pembuktian.
Sikap PDAM Diam dan Menunggu Instruksi
Perwakilan PDAM Bangkalan, Dian Musliyana Sari, S.H., yang hadir sebagai kuasa hukum dari negara, menolak memberikan pernyataan kepada media. Ketika ditanya apakah ada pembebasan lahan pada tahun 1989 dan apakah tanah tersebut telah didaftarkan sebagai aset negara, Dian menjawab singkat:
“Mohon maaf, saya tidak berwenang memberikan keterangan. Nanti akan saya coba sampaikan ke atasan,” katanya sebelum meninggalkan lokasi.
Reaksi Warga Menjaga Fasilitas, Mendukung Keadilan
Warga Desa Karangnangkah ikut memantau kasus ini secara seksama. Mereka menyadari bahwa rumah pompa di atas tanah sengketa merupakan infrastruktur vital bagi kebutuhan air bersih.
Namun, sebagian warga juga menyuarakan bahwa jika memang hak waris dilanggar, negara wajib memberikan kompensasi yang adil, bukan sekadar mempertahankan fasilitas tanpa dasar hukum yang jelas.
Ujian Hukum Tanah dan Hak Waris di Indonesia
Perkara ini dinilai dapat menjadi preseden penting dalam dunia pertanahan di Indonesia. Apabila gugatan dikabulkan, hal ini dapat membuka pintu bagi ahli waris lain di seluruh negeri yang merasa tanahnya dikuasai negara tanpa ganti rugi sah.
Lebih dari sekadar sengketa perdata, perkara ini menyentuh tema besar tentang keadilan agraria, hak milik rakyat, dan akuntabilitas proyek pembangunan nasional.
Waktulah yang akan menjawab, apakah keadilan masih dapat ditegakkan setelah tiga dekade berlalu.
Apa pendapatmu? Tulis di kolom komentar dengan sopan dan beretika. Jangan lupa bagikan agar semakin banyak yang tahu!