Vonis Ringan Penjambretan Surabaya Tuai Kritik Praktisi Hukum

Vonis Ringan Penjambretan Surabaya Tuai Kritik Praktisi Hukum
informasi-publik.com,

Surabaya – Kasus penjambretan yang terjadi di kawasan Klampis Surabaya pada akhir 2024 kembali menjadi sorotan setelah vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dianggap terlalu ringan oleh sebagian masyarakat. Perkara yang melibatkan dua pelaku, Mochamad Basori dan Moch. Zainul Arifin, menimbulkan diskusi publik soal keadilan dan konsistensi penegakan hukum di Indonesia.

Pada Kamis (31/07/2025), praktisi hukum sekaligus pengamat hukum asal Surabaya, Danny Wijaya, S.H., M.H., menyampaikan pandangannya terkait putusan tersebut. Menurutnya, vonis dan tuntutan yang diberikan terhadap kedua pelaku dinilai tidak sejalan dengan ketentuan pasal yang digunakan dalam proses penyidikan awal.

Kronologi dan Latar Belakang Kasus Penjambretan Klampis

Peristiwa penjambretan ini terjadi di wilayah Klampis, Surabaya, pada akhir tahun 2024. Kedua pelaku, Mochamad Basori dan Moch. Zainul Arifin, terlibat dalam aksi pencurian dengan kekerasan yang membuat resah warga sekitar. Aksi tersebut kemudian berhasil diungkap oleh pihak kepolisian, dan kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Surabaya untuk proses hukum lebih lanjut.

Dalam proses persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fathol Rasyid, S.H., menuntut para pelaku dengan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara. Namun, Majelis Hakim PN Surabaya akhirnya menjatuhkan vonis 1 tahun 10 bulan penjara. Perbedaan antara tuntutan dan vonis ini memunculkan reaksi beragam dari masyarakat, yang menilai hukuman tersebut terlalu ringan mengingat sifat kejahatannya.

Pasal 365 Ayat (2) KUHP dan Ancaman Hukuman

Menurut Danny Wijaya, kasus penjambretan tersebut sebenarnya bisa dijerat dengan Pasal 365 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mengatur mengenai tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam keadaan memberatkan. Ancaman hukuman yang diatur dalam pasal ini mencapai pidana penjara paling lama 12 tahun.

Baca Lainnya :  Polisi Berhasil Amankan DPO Curanmor yang Beraksi di 20 TKP

Dalam praktik hukum, keadaan memberatkan bisa berupa pelaku melakukan aksi secara bersama-sama, menyebabkan luka berat pada korban, atau memiliki riwayat kejahatan sebelumnya. Berdasarkan pasal tersebut, hukuman maksimal dapat diberlakukan jika majelis hakim menilai perbuatan pelaku memiliki tingkat keseriusan tinggi.

“Jika Pasal itu benar-benar bisa diterapkan oleh pihak Jaksa dan juga Majelis Hakim, saya kira tuntutan dan vonis tersebut tidak akan segitu. Tapi kita juga tidak tahu apa yang menjadi pertimbangan pihak Jaksa dan Majelis Hakim,” ujar Danny.

Riwayat Hukum Pelaku yang Jadi Sorotan

Salah satu poin penting yang disoroti adalah riwayat kriminal Mochamad Basori. Ia diketahui pernah terjerat kasus narkoba pada tahun 2017 dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara. Fakta ini menempatkan Basori sebagai residivis yang seharusnya menjadi pertimbangan memberatkan dalam putusan perkara baru.

Tidak hanya itu, Basori juga masih menjalani proses hukum lain terkait kasus penjambretan dengan Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan korban berbeda. Artinya, pelaku memiliki lebih dari satu perkara yang sedang berjalan.

“Sah-sah saja Jaksa melakukan penuntutan berapapun, dan majelis hakim juga sah-sah saja memvonis berapa. Tapi dalam perkara ini, pelaku ini memiliki riwayat pernah ditahan dan juga masih ada satu kejahatan lagi yang belum disidangkan. Seharusnya itu juga menjadi bahan pertimbangan untuk memberatkan pelaku,” jelas Danny.

Pertimbangan Jaksa dan Hakim: Kenapa Bisa Ringan?

Hingga kini, alasan spesifik mengenai pertimbangan jaksa dan hakim dalam menjatuhkan tuntutan serta vonis lebih ringan belum dijelaskan secara terbuka. Namun, dalam praktik peradilan, terdapat sejumlah faktor yang kerap memengaruhi keputusan, seperti:

  • Pengakuan bersalah dan penyesalan pelaku
  • Kondisi sosial dan ekonomi pelaku
  • Kerugian korban (apakah sudah diganti atau tidak)
  • Riwayat hukum (meskipun seharusnya memberatkan jika residivis)
Baca Lainnya :  Polres Bangkalan Tangkap Pria Bawa 56 Butir Ekstasi yang Hendak Dipaketkan ke Banjarmasin

Ketiadaan penjelasan detail kepada publik terkait pertimbangan ini kerap memicu persepsi negatif dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Dampak Vonis Ringan terhadap Persepsi Publik

Vonis yang dinilai ringan ini memicu kritik tajam dari sebagian masyarakat. Mereka menilai adanya ketidakadilan dalam proses hukum, terutama jika dibandingkan dengan kasus serupa yang kerap mendapatkan hukuman lebih berat.

Danny Wijaya menyebut bahwa kasus ini bisa memperkuat pandangan miring bahwa hukum di Indonesia kerap “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Ungkapan ini mencerminkan persepsi publik bahwa hukum sering kali lebih keras terhadap rakyat kecil, tetapi lunak terhadap pelaku kejahatan yang memiliki kekuatan tertentu.

“Ini yang membuat masyarakat akhirnya masih berpikir bahwa hukum di negara ini masih bisa dibeli atau tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Jangan salahkan masyarakat jika tidak percaya atau memudarnya kepercayaan terhadap hukum di negeri ini, terutama terhadap kejaksaan dan juga pengadilan. Dan ini dapat menurunkan kredibilitas Kejari dan PN Surabaya di mata masyarakat,” pungkasnya.

Kritik Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia

Kasus penjambretan Klampis ini bukanlah satu-satunya perkara yang menuai sorotan publik karena vonis ringan. Fenomena serupa kerap terjadi, memunculkan kritik terhadap sistem peradilan pidana Indonesia. Beberapa masalah yang kerap disorot antara lain:

  • Inkonsistensi tuntutan dan putusan antar kasus yang serupa.
  • Minimnya transparansi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
  • Kurangnya efek jera bagi pelaku residivis.
  • Rendahnya kepercayaan publik akibat kasus-kasus yang dianggap tidak adil.

Kasus ini menjadi contoh bagaimana satu putusan dapat berdampak luas terhadap kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Tanpa langkah komunikasi yang jelas dari aparat penegak hukum, persepsi negatif ini bisa terus berkembang.

Baca Lainnya :  Oknum Tukang Pijat di Kota Blitar Diduga Lecehkan Pelanggannya

Harapan ke Depan: Perbaikan Transparansi dan Konsistensi

Kasus ini menjadi pembelajaran penting bahwa proses peradilan tidak hanya soal menghukum pelaku, tetapi juga menjaga kepercayaan publik terhadap hukum. Transparansi mengenai pertimbangan putusan sangat dibutuhkan untuk menjelaskan kepada masyarakat mengapa suatu vonis dijatuhkan lebih ringan atau lebih berat.

Selain itu, konsistensi penerapan pasal dan hukuman harus dijaga agar tidak menimbulkan kesan diskriminasi. Bagi pelaku yang memiliki riwayat kriminal atau masih menjalani perkara lain, pertimbangan memberatkan seharusnya digunakan untuk memberikan efek jera.

Kesimpulan

Kasus vonis ringan penjambretan di Klampis Surabaya menjadi cermin tantangan penegakan hukum di Indonesia. Kritik dari praktisi hukum seperti Danny Wijaya memperlihatkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperbaiki konsistensi dan transparansi proses hukum, agar kepercayaan publik tidak semakin terkikis.

Dengan keterbukaan informasi dan penjelasan yang jelas, diharapkan masyarakat dapat memahami alasan di balik setiap putusan dan tetap percaya pada integritas sistem peradilan.

Apa pendapatmu? Tulis di kolom komentar dengan sopan dan beretika. Jangan lupa bagikan agar semakin banyak yang tahu!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *