Surabaya – Aliansi Madura Indonesia (AMI) mengecam keras kebijakan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Jawa Timur yang dinilai memberikan perlakuan istimewa terhadap seorang oknum petugas lembaga pemasyarakatan (lapas) yang terbukti menyelundupkan narkoba ke dalam penjara.
Perlakuan Tidak Adil: Warga Biasa Dipenjara, Sipir Disanksi Ringan
Ketua Umum Aliansi Madura Indonesia (AMI), Baihaki Akbar, menyatakan bahwa sikap Kanwil Pemasyarakatan Jawa Timur yang hanya memberikan sanksi disiplin kepada oknum sipir Lapas Pemuda Madiun sangat mencederai rasa keadilan publik. Pasalnya, oknum bernama Taufik Ispriyono diketahui menyelundupkan sabu yang disimpan di celana dalam, untuk diedarkan di dalam lapas.
Namun, alih-alih diproses secara pidana sebagaimana yang biasa terjadi pada masyarakat sipil, Taufik hanya dikenakan pembinaan selama tiga bulan dan kemudian dipindahkan ke Balai Pemasyarakatan (Bapas).
“Kami melihat ketidakadilan yang sangat nyata. Rakyat biasa baru ketahuan membawa sabu 0,2 gram saja bisa langsung dijebloskan ke penjara bertahun-tahun. Tapi ini sipir yang dengan sadar menyelundupkan sabu ke dalam lapas malah cukup dibina, lalu dipindahkan tugas. Ini bukan pembinaan, ini pembiaran,” tegas Baihaki (2/6/2025).
Konfirmasi Kanwil PAS Jatim: Hanya Dikenai Sanksi Disiplin
Konfirmasi dari pihak Kanwil Pemasyarakatan Jawa Timur menyebut bahwa tindakan terhadap sipir tersebut sudah sesuai mekanisme internal. Pejabat Tata Usaha Kanwil PAS Jatim, Ishadi, menjelaskan bahwa Taufik telah diperiksa oleh tim internal dan telah dijatuhi sanksi berupa pembinaan dan pemindahan tugas.
“Yang bersangkutan telah diperiksa tim internal, dibina selama tiga bulan, dan sekarang sudah dipindahkan ke Balai Pemasyarakatan (Bapas). Proses sudah dijalankan sesuai mekanisme,” kata Ishadi saat diwawancarai sejumlah media.
Lebih lanjut, Ishadi menyebut bahwa faktor ekonomi menjadi pemicu tindakan pelaku, yang disebut mengalami tekanan kebutuhan hidup.
AMI Tegaskan: Ini Bukan Masalah Ekonomi, Ini Masalah Pidana Berat
Aliansi Madura Indonesia menolak keras alasan ekonomi sebagai justifikasi. Menurut AMI, seorang aparat negara yang justru terlibat dalam peredaran narkoba seharusnya mendapat hukuman lebih berat dari warga sipil.
“Kalau aparatnya sendiri ikut main, lalu siapa lagi yang bisa menjaga pintu lapas? Justru mereka harusnya dihukum lebih keras dari warga sipil. Ini bukan hanya pelanggaran disiplin, ini pidana berat. Kami mendesak agar kasus ini dilaporkan ke kepolisian, bukan hanya ditutup lewat jalur internal,” lanjut Baihaki.
AMI bahkan menuding bahwa kebijakan semacam ini mencerminkan adanya sistem “dua jalur hukum”, satu untuk rakyat biasa dan satu lagi untuk pejabat atau aparat.
Rakyat Kecil Dihukum Berat, Oknum Aparat Diampuni?
AMI juga menyoroti bagaimana banyak masyarakat kecil di Indonesia, terutama dari kalangan tidak mampu dan kurang pendidikan hukum, dipenjara selama bertahun-tahun hanya karena memiliki narkoba dalam jumlah sangat kecil.
“Kami tahu betul, banyak rakyat kecil yang bahkan tidak tahu hukumnya seperti apa, langsung dipenjara. Tidak ada kata ‘pembinaan’ buat mereka. Tapi sipir yang jelas-jelas menyelundupkan sabu malah ‘diselamatkan’ sistem. Ini wajah asli dari ketidakadilan hukum kita,” tegas Baihaki lagi.
Ironi ini menjadi sorotan publik, terutama karena aparat seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas dan pemberantasan narkoba di lingkungan pemasyarakatan.
AMI Akan Kawal Kasus hingga Tuntas, Desak Polisi Ambil Alih
Menanggapi lemahnya sanksi terhadap pelaku, AMI menyatakan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini. Mereka menyatakan tidak akan tinggal diam dan akan mendorong agar kasus ini tidak hanya berhenti pada mekanisme internal Kemenkumham, melainkan dibawa ke proses pidana oleh pihak kepolisian.
Baihaki dan tim AMI bahkan berencana melaporkan secara resmi kasus ini ke aparat penegak hukum dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), karena dinilai mencerminkan ketidakadilan sistemik dalam proses hukum di Indonesia.
Praktik “Cuci Tangan” di Tubuh Kemenkumham?
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar dari masyarakat: sejauh mana praktik “cuci tangan” dan penyelamatan oknum di tubuh Kemenkumham terjadi? Dalam beberapa kasus serupa, publik sudah berkali-kali menyaksikan bahwa pelaku dari kalangan internal kementerian seringkali tidak diproses secara pidana.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka publik akan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga pemasyarakatan, sekaligus terhadap komitmen negara dalam memerangi peredaran narkoba.
Desakan Keadilan dan Transparansi Penegakan Hukum
Kasus penyelundupan sabu oleh sipir Lapas Pemuda Madiun membuka kembali luka lama soal ketimpangan penegakan hukum di Indonesia. Satu sisi, rakyat kecil ditekan dengan hukum yang keras dan tidak kenal kompromi. Di sisi lain, aparat yang justru menyalahgunakan kekuasaan seolah memiliki “jalur khusus” untuk lolos dari pidana.
Aliansi Madura Indonesia telah menyuarakan aspirasi publik secara terbuka. Kini masyarakat menanti keberanian dari penegak hukum untuk benar-benar menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Jika tidak, maka jargon “negara hukum” tak lebih dari sekadar slogan kosong.
Apa pendapatmu? Tulis di kolom komentar dengan sopan dan beretika. Jangan lupa bagikan agar semakin banyak yang tahu!