Jurnalis Diintimidasi Saat Liputan di Pendopo Sidoarjo, Diduga Dilarang Oleh Tim Pengamanan Wabup

Jurnalis Diintimidasi Saat Liputan di Pendopo Sidoarjo, Diduga Dilarang Oleh Tim Pengamanan Wabup
informasi-publik.com,

Sidoarjo – Kebebasan pers kembali tercoreng lantaran insiden intimidasi terhadap awak media pada Jumat lalu. Insiden terjadi saat sejumlah jurnalis dari Surabaya tengah berupaya meliput proses mediasi antara PT SGM dan pihak terkait di Pendopo Kabupaten Sidoarjo, yang difasilitasi oleh Wakil Bupati Sidoarjo, Mimik Idayana, serta Wakil Wali Kota Surabaya.

Alih-alih mendapatkan akses, para jurnalis justru dihadang, dilarang masuk, didorong, dipiting, bahkan ditantang duel satu lawan satu oleh sejumlah pria berbadan tegap yang mengaku sebagai pengamanan Wakil Bupati. Tindakan represif ini jelas bertentangan dengan Undang‑Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, terutama pasal-pasal yang menjamin kebebasan dan keselamatan kerja jurnalistik.

Kronologi Insiden Intimidasi

Pada saat berlangsungnya mediasi, beberapa jurnalis berupaya memasuki ruang pendopo untuk menjalankan tugas jurnalistik. Namun mereka dihalang-halangi oleh sekelompok pria yang tampak seperti petugas pengamanan.

“Mereka bukan hanya melarang kami masuk, tetapi juga menyentuh secara fisik. Saya sendiri sempat dipiting dan dibentak,” ucap salah satu wartawan media daring asal Surabaya, yang memilih tetap anonim.

Selain itu, wartawan juga mendapat tekanan verbal. Tidak hanya didorong, beberapa bahkan ditantang duel—sebuah bentuk intimidasi fisik yang melanggar norma jurnalistik dan hukum.

Pelanggaran Terhadap UU Pers

UU Pers No. 40/1999 mengamanatkan:

  • Pasal 4 ayat (3): Pers national berhak atas kebebasan dalam mencari, memperoleh, dan menyebarkan gagasan serta informasi.
  • Pasal 8: Wartawan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan tugas jurnalistik.
  • Pasal 18 ayat (1): Menegaskan bahwa siapa pun yang menghalangi atau menghambat tugas jurnalistik dapat dipidana dengan pidana penjara maksimum dua tahun atau denda Rp 500 juta.

Insiden intimidasi ini secara terang‑terangan melanggar ketiga pasal di atas, menjadikannya bukan sekadar pelanggaran etik namun juga tindak pidana represif terhadap kebebasan pers.

Baca Lainnya  GEMPAR JATIM Nyatakan Sikap Tolak Ketidakadilan dalam Penerapan Perda Parkir Surabaya

Kecaman dari Pimpinan Redaksi dan Lembaga Pers

Bayu Pangarso, ST, selaku Pimpinan Redaksi Berita Cakrawala.co.id, mengecam keras insiden tersebut:

“Kami mengecam keras kriminalisasi dan sikap arogansi yang diduga dilakukan oleh tim pengamanan Wakil Bupati Sidoarjo. Mereka jelas telah melarang secara paksa awak media yang sedang menjalankan tugas,” tegasnya.

Bayu juga menjelaskan bahwa aspek fisik seperti memiting, mendorong, membentak, dan tantangan duel, membuat insiden ini semakin serius. Untuk itu, pihak media telah mengajukan laporan resmi ke Mapolda Jawa Timur agar pelaku bertanggung jawab dan mendapat sanksi hukum.

Tidak hanya itu, komunitas jurnalis juga menyatakan reaksi keras terhadap intimidasi ini. AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) Sidoarjo mendesak agar aparat penegak hukum menindaklanjuti pelanggaran secara transparan dan profesional.

Kasus Serupa Sebelumnya di Sidoarjo

Insiden ini bukan penghalang pertama terhadap pers di wilayah Sidoarjo. Beberapa minggu sebelumnya, Aminatus Sakdiyah, wartawati dari media online dan anggota KJJT, mengalami intimidasi saat meliput persoalan sampah di Krian.

Aminatus sempat ditegur, diundang ke Balai RW, dan dipaksa mengaku menerima uang dari pengelola sampah—sebuah tindakan yang termasuk dalam kekerasan psikis dan pelarangan terhadap kebebasan pers.

Kejadian Aminatus ini menunjukkan pola intimidasi sistematis terhadap jurnalis di Sidoarjo, membuat insiden di pendopo kabupaten bukanlah kasus tunggal.

Akibat Intimidasi terhadap Publikasi dan Demokrasi

Tindakan intimidatif terhadap jurnalis memiliki dampak serius terhadap demokrasi dan hak publik untuk mengakses informasi. Bila aparat publik menggunakan pengamanan ilegal, hal itu:

  1. Menghambat fungsi kontrol sosial media atas kebijakan publik.
  2. Memicu self-censorship, di mana jurnalis enggan meliput demi menghindari konflik.
  3. Merusak citra pemerintah karena dianggap menentang transparansi dan akuntabilitas.
Baca Lainnya  Sengketa Lahan di Blega Bangkalan Berlanjut ke Pengadilan: Warga Tuding PUDAM Bangun Tanpa Izin, Sertifikat Hak Pakai Dipersoalkan

Menurut AJI Indonesia, insiden seperti ini mengancam fondasi demokrasi, terutama ketika jurnalis telah diintimidasi saat meliput agenda penting publik (aji.or.id).

Proses Hukuman hingga Pertanggungjawaban Moral

Aspirasi dari media nasional, lokal, dan lembaga jurnalis mencakup:

  • Penegakan hukum terhadap oknum pengamanan yang melakukan pelanggaran fisik dan verbal.
  • Pertanggungjawaban resmi dari Wakil Bupati Sidoarjo, Mimik Idayana, karena insiden bermotif langganan.
  • Perbaikan SOP pengamanan untuk menghormati kebebasan pers.
  • Dialog terbuka antara pemerintah kabupaten, media, dan organisasi pers untuk mencegah insiden serupa terjadi lagi.

Respons Pemerintah Kabupaten Sidoarjo

Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Pemkab Sidoarjo maupun dari Wakil Bupati terkait insiden ini. Namun media setempat menyebut bahwa kasus ini telah diterima Mapolda Jatim, dan proses penyelidikan sedang berlangsung.

Harapan ke Depan

Untuk menghindari insiden serupa, berikut beberapa langkah yang dapat diambil:

  • Evaluasi dan revisi SOP pengamanan acara pemerintah, agar petugas memahami tugas jurnalistik.
  • Pelatihan bagi petugas pengamanan publik, agar mereka menghormati hak pers sesuai UU Pers.
  • Forum dialog berkala antara pemerintah daerah dan media lokal untuk membahas hambatan jurnalistik.
  • Sanksi tegas bagi pejabat yang menggunakan kekerasan atau intimidasi terhadap jurnalis.

Kebebasan Pers Harus Dijaga

Insiden di Pendopo Kabupaten Sidoarjo adalah bukti nyata bahwa kebebasan pers masih rawan di ruang publik. Tindakan intimidatif tidak hanya menyakiti jurnalis, tetapi juga merugikan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Langkah selanjutnya adalah mengawal proses hukum, memastikan aparat diberi sanksi sesuai aturan, dan memastikan pemerintah daerah tidak lagi menggunakan cara represif terhadap media. Tanpa kebebasan pers, demokrasi kita kehilangan suara publik.

Apa pendapatmu? Tulis di kolom komentar dengan sopan dan beretika. Jangan lupa bagikan agar semakin banyak yang tahu!

*) Oleh : Red

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *