Surabaya – Kasus kekerasan seksual kembali mengguncang Kota Surabaya. Kali ini korbannya adalah seorang perempuan disabilitas berinisial F (26) yang menjadi korban pemerkosaan di lingkungan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Indrapura, Surabaya. Peristiwa memilukan ini membuka kembali luka lama masyarakat atas lemahnya perlindungan hukum terhadap kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas dan perempuan.
Peristiwa ini menyulut kemarahan dan keprihatinan dari banyak kalangan, termasuk Aliansi Madura Indonesia (AMI). Organisasi sosial yang berbasis di Surabaya ini langsung menggelar konferensi pers dan menyampaikan tuntutan tegas kepada aparat penegak hukum agar menjatuhkan hukuman maksimal terhadap pelaku.
Korban Perempuan Disabilitas, Pelaku Tetangga Dekat
Pelaku dalam kasus ini berinisial MS, pria berusia 65 tahun yang tinggal di sekitar Rusunawa tempat tinggal korban. MS diduga memanfaatkan kondisi korban yang memiliki disabilitas ganda dan keterbatasan dalam komunikasi, untuk melakukan aksi bejatnya. Kasus ini pertama kali terungkap pada 16 Mei 2025, setelah pihak keluarga curiga terhadap kondisi psikologis korban yang mengalami perubahan drastis.
Dengan didampingi oleh Kukuh Setya, seorang aktivis perempuan disabilitas sekaligus Wakil Ketua AMI, keluarga akhirnya melaporkan kasus tersebut ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak. Setelah melalui proses visum dan penyelidikan awal, pelaku akhirnya ditangkap dan kini ditahan di Rutan Polda Jawa Timur.
Desakan AMI: Hukuman Penjara Saja Tidak Cukup
Dalam konferensi pers yang digelar pada Rabu, 26 Juni 2025, Kukuh Setya menyampaikan desakan kepada aparat penegak hukum agar tidak hanya menjatuhkan sanksi pidana penjara, tetapi juga mempertimbangkan hukuman kebiri kimia, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
“Kami mendesak penegak hukum agar tidak hanya menjatuhkan hukuman penjara. Pelaku pantas dijatuhi sanksi kebiri kimia. Ini kejahatan luar biasa terhadap kelompok rentan, dan negara harus menunjukkan keberpihakan nyata,” tegas Kukuh dalam pernyataannya.
Kukuh menegaskan bahwa trauma yang dialami korban sangat berat dan tidak akan sepenuhnya pulih. Bahkan menurut pengakuan keluarga, korban sempat mengalami gangguan tidur, ketakutan ekstrem terhadap suara laki-laki, hingga penurunan berat badan drastis pasca kejadian.
Latar Belakang Korban: Disabilitas Ganda dan Isolasi Sosial
F diketahui sebagai penyandang disabilitas ganda, dengan keterbatasan mobilitas dan gangguan komunikasi. Kondisinya membuat ia lebih rentan menjadi target kekerasan, apalagi di lingkungan padat seperti rusunawa, di mana pengawasan dari warga sekitar sangat minim.
Fakta ini membuat banyak pihak semakin geram, karena tindakan pelaku bukan hanya merampas hak korban atas rasa aman, tetapi juga menunjukkan penyalahgunaan posisi sosial dan usia untuk mengeksploitasi korban yang tidak berdaya.
Pentingnya Penegakan Hukum yang Tegas
Kukuh Setya dalam keterangannya juga menggarisbawahi bahwa penerapan sanksi kebiri kimia bukanlah bentuk balas dendam, melainkan bentuk perlindungan jangka panjang terhadap korban dan kelompok disabilitas lainnya.
“Ini bukan soal balas dendam. Ini adalah tentang bagaimana negara hadir untuk melindungi. Jika tidak ada efek jera, kasus serupa akan terus berulang. Kami ingin memastikan korban mendapatkan keadilan,” ungkap Kukuh.
Ia juga menekankan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak telah memungkinkan penjatuhan hukuman tambahan berupa kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Dalam konteks korban penyandang disabilitas, UU Disabilitas juga memberikan perlindungan khusus yang harus diterapkan secara nyata.
Respons Kepolisian dan Jalannya Proses Hukum
Pihak Polres Pelabuhan Tanjung Perak melalui keterangan resminya menjelaskan bahwa proses hukum sedang berjalan dan akan terus dikawal dengan mekanisme Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kepada pelapor dan kuasa hukumnya.
“Kami sedang melengkapi berkas perkara. Barang bukti sudah diamankan, dan hasil visum juga sudah disertakan dalam penyidikan. Kami pastikan kasus ini ditangani secara profesional,” terang salah satu penyidik saat dikonfirmasi.
Pelaku dikenakan pasal berlapis, termasuk:
- Pasal 285 KUHP tentang Pemerkosaan
- UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
- UU Perlindungan Anak jika unsur tambahan terpenuhi berdasarkan usia mental korban
Posko Pengaduan Kekerasan Seksual oleh AMI
Sebagai bentuk komitmen dalam mendampingi korban dan mencegah kejadian serupa, AMI membuka posko pengaduan khusus bagi korban kekerasan seksual dari kelompok rentan. Posko tersebut berlokasi di Jl. Ikan Lumba-Lumba I No. 10, Perak, Surabaya, dan terbuka setiap hari kerja.
“Kami ingin agar para korban tahu bahwa mereka tidak sendiri. Kami siap mendampingi, dari pengaduan, visum, hingga pendampingan hukum,” ujar Kukuh.
AMI juga akan menggandeng psikolog dan pendamping hukum profesional untuk mendampingi korban selama proses pemulihan.
Suara Masyarakat dan Harapan Ke Depan
Kasus ini memicu gelombang solidaritas dari banyak pihak, termasuk organisasi mahasiswa, LSM perempuan, dan pemerhati HAM. Mereka mendesak pemerintah kota, provinsi, dan pusat agar meningkatkan pengawasan terhadap lingkungan tempat tinggal kelompok rentan, serta memperkuat sistem pelaporan yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
Harapan terbesar masyarakat adalah terwujudnya keadilan bagi korban, dan bahwa pelaku tidak hanya dihukum secara pidana, tetapi juga diberi hukuman tambahan sebagai bentuk pencegahan sistemik terhadap kekerasan seksual.
Kasus pemerkosaan terhadap perempuan disabilitas di Rusunawa Indrapura, Surabaya, membuka kembali urgensi perlindungan terhadap kelompok rentan. Tindakan tegas terhadap pelaku menjadi hal yang sangat penting untuk menciptakan efek jera dan memperkuat rasa keadilan di tengah masyarakat.
Desakan yang disuarakan oleh Aliansi Madura Indonesia dan aktivis seperti Kukuh Setya harus menjadi pengingat bagi semua pihak, terutama aparat penegak hukum, bahwa setiap warga negara berhak atas perlindungan yang sama, apapun latar belakang dan kondisinya.
Keadilan bukan hanya tentang menghukum, tapi juga tentang memastikan tidak ada korban lain yang harus mengalami luka yang sama.
Apa pendapatmu? Tulis di kolom komentar dengan sopan dan beretika. Jangan lupa bagikan agar semakin banyak yang tahu!