SURABAYA – Aliansi Madura Indonesia (AMI) melontarkan kecaman keras terhadap dugaan praktik pemerasan dan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh oknum Kepala Pengamanan Rutan (KPR) Kelas 1 Surabaya atau Rutan Medaeng. Dugaan tersebut melibatkan pemerasan terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang terlibat jaringan narkoba di dalam rutan.
AMI menegaskan bahwa mereka telah mengantongi bukti-bukti kuat dan akan membawa kasus ini secara resmi ke Kementerian Imipas RI
Pengakuan WBP Cak Mat: Setoran Uang Rp 40,5 Juta untuk Jalankan Bisnis Narkoba di Rutan
Sekretaris Jenderal AMI, Abdul Azis, S.H., menjelaskan bahwa seorang WBP berinisial CM alias Cak Mat, yang diduga terlibat dalam jaringan peredaran narkoba di Rutan Medaeng, telah menyetor uang keamanan dalam jumlah besar kepada Kepala KPR.
Menurut keterangan Azis, uang sebesar Rp 40,5 juta diserahkan secara bertahap langsung oleh Cak Mat ke Kepala KPR dan staf-stafnya, untuk mendapatkan “keamanan” agar dapat menjalankan bisnis narkoba di dalam rutan tanpa diganggu petugas.
“Setoran pertama Rp 10 juta, lalu Rp 5 juta, hingga total Rp 40,5 juta. Uang itu dibawa langsung ke ruangan Hengky (Kepala KPR),” kata Azis.
Namun, karena dianggap tidak memenuhi target setoran, Cak Mat akhirnya dipindahkan ke Rutan Pamekasan.
AMI: Ini Bentuk Intimidasi Terhadap Warga Binaan
Abdul Azis menyebut bahwa tindakan ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang sangat serius, dan bukan sekadar pungutan liar (pungli), melainkan sudah menjurus ke tindakan pemerasan yang sistematis dan terstruktur.
“Ini bukan sekadar pelanggaran etik. Ini intimidasi terhadap WBP yang posisinya lemah. Dan ini adalah tindakan kriminal yang harus diusut secara menyeluruh,” tegasnya.
Dugaan Keterlibatan Oknum Lain: “SB”, “TB”, dan “JL”
Tak hanya Kepala KPR, AMI juga menyoroti dugaan keterlibatan staf pengamanan berinisial SB, serta dua bandar narkoba dalam rutan berinisial TB dan JL. Mereka diduga ikut melindungi operasional jaringan narkoba dan menarik setoran dari para WBP bandar.
“Kami menduga kuat mereka bekerja secara sistemik. Ada rantai setoran yang mengalir. Jika tidak ditindak, ini akan terus merusak sistem pemasyarakatan,” ujar Azis.
Langgar UU Tipikor dan KUHP: AMI Desak Penegakan Hukum
Abdul Azis menyebut tindakan ini telah melanggar berbagai aturan hukum, di antaranya:
1. Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor
Pegawai negeri yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang membayar atau memberikan sesuatu demi keuntungan diri sendiri atau orang lain dapat dikenakan hukuman penjara antara 4–20 tahun dan denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
2. Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan
Barang siapa memaksa orang lain memberikan sesuatu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana penjara paling lama 9 tahun.
“Kami tegaskan bahwa ini adalah pelanggaran hukum yang berat. Bukan sekadar pelanggaran disiplin atau etik,” ucap Azis.
AMI Desak Menteri Yasonna Laoly Turun Tangan
Untuk mengusut tuntas kasus ini, AMI mendesak Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly agar segera turun tangan dan menindak tegas para oknum yang terlibat. AMI meminta langkah nyata sebagai berikut:
- Menurunkan tim investigasi ke Rutan Medaeng.
- Memeriksa Kepala KPR dan staf terkait.
- Mencopot seluruh oknum yang terbukti terlibat.
- Membenahi sistem pengawasan rutan agar tidak lagi terjadi peredaran narkoba dan praktik pemerasan.
“Rutan bukan tempat bisnis gelap. Ini tempat pembinaan. Kalau sistemnya korup, siapa yang akan dibina?” ujar Azis penuh keprihatinan.
AMI: Kami Akan Kawal Hingga Tuntas
AMI menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga ke akar-akarnya. Mereka akan melayangkan laporan resmi ke Kementerian dan terus memantau perkembangan, agar publik juga mengetahui bahwa praktik semacam ini tidak boleh dibiarkan.
“Kami ingin semua WBP diperlakukan manusiawi. Jangan ada lagi yang diperas karena posisi mereka yang rentan. Ini bukan hanya soal keadilan, tapi soal kemanusiaan dan integritas sistem hukum kita,” pungkas Azis.
Rutan Harus Kembali ke Fungsinya Sebagai Lembaga Pembinaan
Kasus dugaan pemerasan ini membuka tabir kelam tentang realitas di balik tembok lembaga pemasyarakatan. Rumah tahanan seharusnya menjadi tempat pembinaan, bukan sarang penyimpangan dan bisnis gelap oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Masyarakat, aktivis, hingga pemerintah pusat harus bersatu menyuarakan perubahan. Karena ketika hukum dijalankan tanpa nurani, korban terbesarnya adalah keadilan itu sendiri.
Apa pendapatmu? Tulis di kolom komentar dengan sopan dan beretika. Jangan lupa bagikan agar semakin banyak yang tahu!