Purbaya silang pendapat dengan Kang Dedi Soal Dana Jabar

24 Oktober 2025 | Direksi Informasi Publik

Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa Kang Demul (KDM) kembali terlibat dalam perbedaan pendapat. Kali ini, silang pendapat mereka berpusat pada isu dana Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jabar yang disebut-sebut mengendap di bank senilai Rp 4,17 triliun.

Konflik data ini mencuat ke publik pada Rabu (22/10/2025), di mana kedua pihak sama-sama bersikukuh dengan data yang mereka miliki. Purbaya menyatakan data yang menjadi acuannya berasal dari Bank Indonesia (BI) dan diyakini valid, sementara Dedi Mulyadi membantahnya dengan menjelaskan adanya perbedaan waktu pelaporan.

Purbaya: Data BI Pasti Valid

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa ia mengetahui adanya dana Pemda yang mengendap di perbankan setelah menerima data dari Bank Indonesia. Di hadapan awak media di kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta, Purbaya menegaskan keyakinannya akan keakuratan data yang bersumber dari bank sentral tersebut.

“Itu data dari BI, itu dicek sama BI, harusnya betul seperti itu. Mereka harus cek lagi seperti apa dana di perbankan mereka,” kata Purbaya.

Purbaya menjelaskan bahwa validitas data tidak diragukan lagi karena BI secara rutin menerima laporan keuangan dari seluruh perbankan di Indonesia. Mekanisme pelaporan yang berjalan ini menjadi dasar keyakinannya bahwa data yang mencatat dana mengendap sebesar Rp 4,17 triliun itu akurat.

“Itu kan data dari bank sentral, laporan dari bank yang disampaikan setiap saat ke BI. Harusnya itu yang betul,” tegas Menkeu.

Kang Demul Bantah, Jelaskan Soal Time Lag Pelaporan

Menanggapi pernyataan Menkeu, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi mengambil langkah langsung dengan mendatangi kantor pusat Bank Indonesia di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada hari yang sama.

Setelah melakukan konfirmasi, Dedi membantah keras klaim bahwa ada dana Pemprov Jabar sebesar Rp 4,17 triliun yang mengendap. Menurut penjelasannya, selisih data ini terjadi akibat perbedaan waktu atau time lag dalam proses pelaporan keuangan antara sistem Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan BI.

“Adapun data dari BI itu adalah data pelaporan keuangan per 30 September,” tutur Dedi.

Implikasi dari perbedaan cut-off waktu ini, menurut Kang Demul, membuat data yang dilihat oleh Kemenkeu tidak mencerminkan posisi kas yang terbaru atau sudah mengalami pergerakan.

Bukan Pertama Kali Berselisih Paham

Riwayat perdebatan antara Dedi Mulyadi dan Purbaya Yudhi Sadewa rupanya bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, pada Selasa (7/10/2025), sebanyak 18 gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) mendatangi Kemenkeu untuk menyampaikan protes.

Mereka, termasuk Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf, memprotes kebijakan pemotongan anggaran Transfer Ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026. Saat itu, pemerintah hanya mengalokasikan Rp 650 triliun untuk TKD, angka yang jauh lebih rendah 29% dibandingkan alokasi tahun 2025 sebesar Rp 919 triliun.

Namun, yang mencolok, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi tidak hadir dalam pertemuan protes tersebut. Ketidakhadirannya menjadi bahan pertanyaan mengingat besarnya dampak pemotongan anggaran terhadap daerah.

Menanggapi gejolak dari daerah, termasuk kenaikan tarif pajak di beberapa wilayah untuk menutupi kekurangan anggaran, Menkeu Purbaya yang baru dilantir pada 8 September lalu, akhirnya mengubah keputusannya. Alokasi TKD dinaikkan tambahan Rp 43 triliun, sehingga total menjadi Rp 693 triliun untuk tahun 2026.

Klaim Kinerja Keuangan Jabar

Di kesempatan terpisah, Dedi Mulyadi justru memamerkan kinerja keuangan Pemprov Jabar. Ia menyatakan bahwa realisasi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jabar adalah yang tertinggi secara nasional.

Dedi memproyeksikan bahwa daya serap anggaran Pemprov Jabar hingga akhir Desember 2025 mendatang akan mencapai angka yang signifikan, yaitu sekitar Rp 7,5 triliun. Sumber pendapatan yang diprediksi masuk sekitar Rp 6,5 triliun, ditambah dengan persediaan kas daerah sebesar Rp 2,5 triliun.

“Berarti sembilan (triliun), saya bilang. Itu masih ada sisa,” ujar Dedi di Bandung, Senin (20/10).

Meski demikian, dengan sikapnya yang khas, Dedi menolak jika daerahnya disebut sebagai yang realisasi APBD-nya tertinggi. Ia justru menginstruksikan jajarannya untuk terus meningkatkan kinerja karena masih ada dana yang belum terealisasi sepenuhnya.

“Sehingga hari ini saya instruksikan, walaupun kita sudah dikatakan sistem pengelolaan keuangan, belanja, dan realisasi pendapatan paling tinggi, saya nggak mau dikatakan yang paling tinggi. Saya masih paling rendah,” pungkasnya.

Silang pendapat terbaru ini menyoroti kompleksnya koordinasi data keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Di satu sisi, pemerintah pusat mengandalkan data makro dari otoritas moneter, sementara di sisi lain, pemerintah daerah memiliki dinamika kas dan realisasi anggaran yang lebih detail dan real-time. Penyelesaian masalah ini memerlukan sinergi dan sistem pelaporan yang terintegrasi untuk menghindari kesenjangan informasi di masa depan.