Perdana Menteri Baru Jepang, Sanae Takaichi Hadapi Ujian
Tokyo – Perdana Menteri Jepang yang baru, Sanae Takaichi, menghadapi ujian diplomatik yang berat sekaligus peluang untuk mewujudkan ambisi kebijakan keamanannya yang keras. Namun, pemerintahan koalisinya yang rapuh dan hanya memiliki sedikit suara di parlemen diperkirakan akan membatasi sejauh mana ia dapat bertindak, terutama dalam memenuhi tekanan dari sekutu seperti Amerika Serikat.
Takaichi, yang dikenal sebagai pengagum mantan Perdana Menteri konservatif Inggris Margaret Thatcher, dilantik pada Selasa (22/10) sebagai pemimpin pemerintahan yang hanya unggul dua suara di parlemen. Ia segera menghadapi tantangan diplomatik pertamanya dengan bertemu Presiden AS Donald Trump.
“Dia konservatif, ingin meningkatkan belanja pertahanan, dan menyebut dirinya sebagai kandidat ‘Japan First’,” kata Michael Green, profesor dan kepala Pusat Studi Amerika Serikat di Australia, seperti dilaporkan Reuters, Kamis (24/10/2025). “Jika dia memiliki kerentanan dengan Trump, itu adalah posisinya yang relatif lemah di dalam negeri,” tambah mantan pejabat senior Dewan Keamanan Nasional AS itu.
Koalisi Baru dan Ambisi Militer yang “Lepas Kendali”
Langkah politik Takaichi yang paling signifikan adalah mengakhiri koalisi 26 tahun Partai Demokrat Liberal (LDP) dengan Komeito yang bercorak pasifis. Ia menggantikannya dengan mitra koalisi baru, Partai Inovasi Jepang atau Ishin, yang dikenal garis keras dan beraliran kanan.
“Komeito selalu menjadi rem, dan sekarang Anda memiliki dua mitra koalisi yang hampir sejalan,” kata Jeffrey Hornung, pakar kebijakan keamanan Jepang di RAND Corporation.
Perubahan koalisi ini membebaskan Takaichi untuk mendorong reformasi keamanan dari era Shinzo Abe, mentornya yang tewas dibunuh dan merupakan kepercayaan Trump, lebih jauh lagi. Seperti Takaichi, Ishin ingin merevisi konstitusi pasifis Jepang, memperkuat militer untuk menghadapi China, dan melonggarkan pembatasan ekspor senjata. Bahkan, Ishin sempat mengusulkan perjanjian berbagi nuklir ala AS yang akan memberikan wewenang kepada Tokyo atas senjata nuklir AS yang ditempatkan di Jepang—sebuah langkah radikal yang bertentangan dengan tiga prinsip non-nuklir Jepang.
Pada Jumat (25/10), Takaichi menyatakan di parlemen bahwa ia berencana mempercepat pembangunan militer terbesar Jepang sejak Perang Dunia Kedua. Targetnya adalah memajukan tujuan penggandaan belanja pertahanan menjadi 2% dari PDB dua tahun lebih cepat, yakni pada akhir tahun fiskal berjalan, 31 Maret 2026.
“Jepang harus mengambil inisiatif dalam memperkuat kemampuan pertahanannya secara fundamental,” tegasnya.
Tantangan Diplomasi dengan China dan Posisi Rapuh di Parlemen
Takaichi juga menyatakan bahwa “keadaan darurat” di Taiwan akan menjadi krisis bagi Jepang dan AS, sebuah pernyataan yang pasti memicu reaksi dari Beijing. China telah menyatakan keprihatinannya atas komitmen perdamaian Jepang, terutama karena Takaichi adalah pengunjung rutin Kuil Yasukuni, yang dianggap Beijing sebagai simbol militerisme masa lalu.
Namun, di balik ambisi tersebut, terletak kelemahan politik yang mendasar. Pemerintahan Takaichi harus berbelanja dukungan dari partai oposisi untuk meloloskan undang-undang penting, sebuah tantangan yang tidak dihadapi Abe.
“Mempercepat pembangunan militer selalu ada dalam agenda, tetapi masalah sebenarnya adalah anggarannya,” kata Profesor Ryo Sahashi dari Universitas Tokyo. “Sangat diragukan pemerintah dengan pijakan yang begitu lemah dapat memutuskan untuk melompat ke 3%.”
Analis Jeffrey Hornung juga memperingatkan potensi friksi awal dengan Trump jika presiden AS tersebut mendesak angka belanja militer yang spesifik dan terlalu tinggi.
Sebagai gantinya, untuk memenangkan hati Trump, Takaichi dikabarkan akan menyiapkan paket pembelian dari AS, mulai dari truk pikap Ford F-150 dan kedelai hingga gas alam dan daftar investasi potensial AS. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat posisi domestiknya sambil mempertahankan hubungan penting dengan sekutu terkuat Jepang di tengah kompleksitas geopolitik kawasan.