Dion Marcellino: Pemuda Progresif Harus Melek Teknologi dan Kritis terhadap Kekuasaan

28 Oktober 2025 | Redaksi

Surabaya – Dalam momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda, semangat generasi muda kembali digugah untuk menatap tantangan zaman dengan cara berpikir yang lebih kritis dan progresif.

Dion Marcellino Lumban Gaol, perwakilan Front Mahasiswa Progresif Indonesia, menilai bahwa pemuda hari ini menghadapi situasi yang jauh lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya.

“Kami bukan lagi hanya berhadapan dengan penjajahan fisik, tetapi juga tekanan mental, arus informasi, dan kemajuan teknologi yang tidak selalu berpihak pada kemanusiaan,” ujarnya,Selasa (28/10/2025).

Menurut Dion, stigma negatif terhadap mahasiswa yang sering dilabeli sebagai “mahasewa” menunjukkan adanya krisis kepercayaan publik terhadap gerakan intelektual muda. Ia menegaskan bahwa mahasiswa tetap memegang peran penting sebagai agen perubahan sosial.

“Kami sedang berjuang untuk membuktikan bahwa mahasiswa bukan alat pesanan kekuasaan, melainkan kekuatan moral dan intelektual yang berdiri di atas kepentingan rakyat,” tegasnya.

Lebih lanjut, Dion menyoroti tantangan serius di kalangan pemuda terkait kesehatan mental, paparan media sosial, dan kompetisi kerja yang makin ketat. Tekanan akibat informasi yang berlebihan, banjir hoaks, serta perubahan sistem kerja karena otomatisasi menjadi ancaman baru bagi generasi digital.

“Teknologi bisa mempermudah, tapi juga bisa memperbudak jika tidak kita kendalikan. Pemuda harus bijak, bukan hanya melek digital tapi juga tangguh secara emosional,” tambahnya.

Ia juga menilai maraknya organisasi pemuda berbasis primordialisme sebagai kemunduran dalam semangat kebangsaan. Dion mengingatkan bahwa semangat Sumpah Pemuda sejatinya adalah komitmen melampaui sekat suku, agama, dan golongan.

“Kalau kita kembali memperkuat identitas kelompok dan bukan identitas kebangsaan, maka itu langkah mundur. Kita sudah bersumpah bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia,” tuturnya.

Dion juga mengaitkan tantangan lokal dan global yang kini dihadapi bangsa Indonesia. Menurutnya, perkembangan teknologi seperti Artificial Intelligence, cryptocurrency, hingga ancaman krisis global 2029–2030 menuntut kesiapan generasi muda yang adaptif dan visioner. “Kita sedang berpacu dengan waktu. Bonus demografi bisa jadi berkah atau bencana, tergantung sejauh mana pemerintah mampu memanfaatkannya sebagai peluang,” kata Dion.

Dalam konteks lokal, Dion mengkritik pemerintahan Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, yang dinilainya kurang memberi perhatian terhadap pengembangan talenta muda. Ia menyebut bahwa gagasan pembangunan Surabaya Techno and Culture Centre, yang diajukan oleh pihaknya untuk membekali anak muda di bidang teknologi dan kebudayaan, belum juga mendapat tanggapan serius.

“Alih-alih mempersiapkan SDM unggul, justru anggaran banyak terserap ke proyek fisik yang tidak mendesak. Bahkan monumen ayam pun dibangun tanpa makna ke-suroboyoan,” sindirnya.

Menutup pesannya, Dion menyerukan agar pemuda Indonesia kembali menyalakan semangat Sumpah Pemuda dalam konteks era 4.0. Ia mengajak generasi muda untuk terus mengasah kemampuan, berpikir kritis, dan tidak bergantung pada dukungan pemerintah.

“Pemuda progresif harus berpikir global tanpa kehilangan akar lokal. Dari Surabaya, dari kampus, dari komunitas kecil kita bisa membangun perubahan nyata. From local to global, from zero to hero,” pungkasnya.