Surabaya – Polemik mencuat terkait alih fungsi lahan cagar budaya Penjara Koblen menjadi pasar buah. Informasi ini pertama kali muncul dari salah satu media lokal yang melaporkan adanya acara peletakan batu pertama pembangunan pasar tersebut, yang turut dihadiri oleh seorang anggota DPRD Kota Surabaya.
Penjara Koblen Surabaya: Dari Simbol Sejarah Menuju Pasar Buah?
Penjara Koblen bukan bangunan biasa. Dibangun pada tahun 1930, penjara ini menyimpan jejak sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh nasional pernah mendekam di sana, termasuk KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebuireng. Selain itu, pendiri perusahaan rokok ternama Sampoerna, Liem Seeng Tee, juga memiliki keterkaitan dengan bangunan ini. Walaupun tidak lagi difungsikan sebagai penjara, status cagar budaya tetap melekat pada lokasi ini.
Reaksi Masyarakat: Warisan Sejarah yang Terabaikan
Rencana pembangunan pasar buah di atas tanah yang memiliki nilai sejarah ini memunculkan reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk PC PMII Kota Surabaya. Organisasi kemahasiswaan ini menilai bahwa langkah tersebut mengabaikan tanggung jawab pelestarian sejarah dan tidak berpihak pada kepentingan publik jangka panjang.
“Bangunan yang menjadi cagar budaya semestinya dirawat, dilindungi, dan dijaga. Itu merupakan ikon kota, bukan malah dialihfungsikan ke hal yang tidak menjadi kebutuhan mendesak,” ujar Ketua PC PMII Kota Surabaya, Matluk, dalam pernyataannya kepada media (19/04/2025).
Menurutnya, alih fungsi tersebut tidak memiliki urgensi yang jelas, terlebih di tengah banyaknya kebutuhan kota yang lebih mendesak dan masih banyak lahan kosong yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan pasar.
PMII Surabaya Pertanyakan Urgensi Proyek
Matluk secara tegas mempertanyakan dasar dari rencana alih fungsi tersebut. Ia menilai pembangunan pasar buah di atas lahan bersejarah seperti Penjara Koblen sangat tidak relevan dengan kebutuhan strategis kota saat ini.
“Situs sejarah seharusnya bisa dikembangkan menjadi objek wisata edukatif dan budaya, menjadi daya tarik bagi wisatawan luar kota maupun mancanegara. Kok bisa dialihfungsikan ke pasar buah? Bukankah pemkot bisa mencari alternatif lahan lain?” tegasnya.
Payung Hukum Ada, Tapi Tak Sepenuhnya Mewakili Kepentingan Sejarah?
Secara regulasi, Pemerintah Kota Surabaya memang memiliki payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya. Dalam salah satu pasal disebutkan bahwa pemanfaatan lahan cagar budaya diperbolehkan untuk kepentingan umum.
Namun menurut Matluk, kebijakan ini kontradiktif dengan semangat pelestarian sejarah yang juga terkandung dalam pasal-pasal lain Perda tersebut. Artinya, pemanfaatan bukan berarti penghilangan fungsi sejarah, apalagi jika tidak disertai dengan keterbukaan informasi dan transparansi publik.
Dugaan Politisasi Proyek?
Lebih jauh, PC PMII Surabaya menyatakan kekhawatiran akan adanya politisasi dalam proyek alih fungsi lahan cagar budaya tersebut. Mereka menilai, jika proyek ini tidak dilaksanakan secara akuntabel dan transparan, maka sangat mungkin terjadi penyalahgunaan kebijakan yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
“Kami juga menolak keras jika ternyata ini bagian dari upaya politisasi ruang sejarah. Jika ada keuntungan ekonomi dari alih fungsi lahan ini, maka jangan sampai hanya dinikmati oleh kelompok tertentu,” pungkas Matluk.
Dampak Alih Fungsi: Antara Komersialisasi dan Kehilangan Identitas
Alih fungsi lahan bersejarah menjadi pasar tidak hanya berisiko pada hilangnya nilai sejarah dan budaya, namun juga membuka ruang bagi komersialisasi berlebihan. Ini bertentangan dengan prinsip dasar pelestarian cagar budaya yang seharusnya mengedepankan edukasi dan pelibatan masyarakat dalam mengenang sejarah perjuangan bangsa.
Dalam konteks kota seperti Surabaya—yang dikenal sebagai Kota Pahlawan—kehilangan satu lagi situs sejarah jelas menjadi kemunduran. Padahal, kota ini semestinya menjadi contoh dalam merawat memori kolektif perjuangan rakyat Indonesia.
Harapan untuk Pemkot Surabaya dan DPRD
Sejumlah pihak berharap Pemkot Surabaya dan DPRD lebih bijak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan situs-situs sejarah. Mereka juga menuntut agar kajian dampak sosial dan budaya dilakukan secara menyeluruh sebelum memutuskan alih fungsi suatu lahan bersejarah.
“Pemkot harus memprioritaskan keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian budaya. Jangan hanya karena tekanan ekonomi atau kepentingan politis jangka pendek, kita mengorbankan situs-situs yang memiliki makna besar bagi bangsa ini,” tutup Matluk.
Menimbang Ulang Pembangunan, Merawat Sejarah
Kasus Penjara Koblen adalah pengingat penting bahwa pembangunan kota tidak boleh mengorbankan identitas dan nilai sejarahnya. Cagar budaya adalah warisan tak ternilai yang tidak bisa digantikan oleh pasar, pusat perbelanjaan, atau bangunan komersial lainnya.
Diperlukan komitmen kuat dari pemerintah kota dan masyarakat sipil untuk menjaga keberlanjutan warisan budaya. Alih fungsi boleh dilakukan jika memang mendesak dan sesuai kebutuhan, tetapi harus tetap dalam koridor pelestarian, transparansi, dan keadilan.
Sebagai warga kota, kita semua bertanggung jawab menjaga jejak sejarah ini agar tidak hilang ditelan waktu dan kepentingan sesaat.
Apa pendapatmu? Tulis di kolom komentar dengan sopan dan beretika. Jangan lupa bagikan agar semakin banyak yang tahu!
Apa pendapatmu? Tulis di kolom komentar dengan sopan dan beretika. Jangan lupa bagikan agar semakin banyak yang tahu!